"sama, tidak pernah berarti saling"
tembok besar itu saksinya, tempat Nay pernah tertangkap basah sedang berbasah-basahan dengan airmatanya sendiri.
"aku baik-baik saja" katanya yang sama sekali tak meyakinkan. lihat saja, airmata itu disertai oleh tawa yang amat dipaksakan. belum lagi berat napasnya yang terasa benar amat begitu dalam.
"all is well Fin.." dia menepuk pipiku dengan memamerkan rentetan giginya yang tetap tidak membuatku percaya.
wanita buah kelapa, begitulah aku menjulukinya.
aku paham betul seperti apa dia. 12 tahun bukan waktu yang singkat untuk memahami kebiasaannya. sejak SD kami telah akrab, sama akrabnya sampai hari ini.
sekalipun begitu, tetap saja dia tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di hatinya.
untung saja aku punya radar dimana-mana. jadi tidak sulit buatku untuk memahami masalahnya kali ini.
"kan udah aku bilang Fin, ga ada apa-apa... cuma aku yang mengada-adakan masalahnya, semua baik-baik aja Finsa sayang" dia memang amat mahir berpura-pura tegar seperti itu. aku sudah hapal betul. jelas aku tahu, hatinya tergoncang. dia terluka. dia sakit hati. yang aku tidak pernah tau, siapa sebenarnya yang membuatnya begini?
"bukan siapa-siapa" kali ini dia dengan tegasnya mengatakan begitu. aku tidak bisa menebak, ini bagian dari akting atau memang realitanya tidak ada seseorang yang membuatnya begini? sejauh penangkapanku, Nay bukan tipikal pengagum lelaki. bahkan ketika aku berkali-kali terperangkap pesona pangeran-pangerann tampan, dia hanya bergedeg menertawaiku. aku sendiri tidak pernah tahu, lelaki seperti apa yang sebenarnya ia cari.
kali ini aku sudah tidak tahan lagi. dibalik tembok besar itu tidak hanya sekali dua kali aku melihatnya menangis. sesak. tapi selalu dibalutinya dengan senyuman.
ah dasar kelapa... dia memang keras seperti sabut dan batok kelapa. butuh benturan yang keras untuk membuka dalamnya. sama seperti aksi nekatku malam ini. memaksanya dengan jutaan alibiku, sampai akhirnya demi sahabat kecilnya dia mau sedikit membuka kisahnya.
kisah yang akhirnya menenggelamkanku dalam sumur kelapa miliknya. Kaffa namanya, pemuda berkacamata yang selalu terlihat di pojok barat perpustakaan lantai 4. ya, tepat di samping jendela dekat rak 400. rupanya dia, lelaki yang mempunyai kapak tajam untuk memecahkan batok sahabatku ini sampai berkali-kali menangis.
aku menyesal mengetahui kisahnya secara rinci. jujur saja aku justeru malah bingung harus berbuat apa? Kaffa, yang bahkan sekalipun tak pernah menyapa Nay. sementara Nay dibalik tembok besar itu selalu mengintip ke barat, tempat pemuda berkacamata itu duduk. bercengkrama dengan buku-buku sains dan sepasang mata yang saling menatap.
kau tau siapa sepasang mata yang saling menatap?
ah, aku tak sanggup berdiri disini. melihat kisah yang sangat sederhana tapi rumit ini.
benar kata Nay, sama tidak pernah berarti saling...
(bersambung)